“Supermarket” Pangan Bernama Tinungglu

TEU Saraki, seorang perempuan Mentawai di Dusun Muntei, Simatalu, Siberut Barat, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, telah menyelesaikan tugas hariannya saat matahari sudah tinggi. Ketika hari masih pagi, ia telah memulai pekerjaan sehari-harinya, menyiangi rumput di sela tanaman keladi dan sayuran, mengumpulkan ranting kering untuk kayu bakar dan menangkap ikan di kolam.

Keranjang rotan yang ia sandang dari ladang penuh dengan umbi keladi, terong ungu, cabe rawit dan beberapa ruas buluh bambu yang baru ditebang.

Di rumahnya dia segera menyiapkan makan siang. Merebus keladi dalam periuk. Merebus ikan dalam tabung bambu dan tepung sagu dibakar dalam bambu, sementara sayuran direbus dalam kuali.

Makanan itu cukup untuk makan siang keluarganya – ia, suaminya dan tiga anaknya yang masih kecil.

“Ini pekerjaan saya tiap hari, ke ladang, mencari ikan di sungai, cari kayu bakar, suami sedang memancing ke laut,” kata Teu Saraki. Tiga anak perempuannya yang berusia 7, 5, dan 4 tahun bermain di rumah, karena sekolah dasar dan Paud mereka diliburkan karena wabah pandemi Covid 19.

Ladang atau tinungglu dalam bahasa Mentawai adalah sumber pangan masyarakat tradisional di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Tinungglu merupakan kebun campuran tempat mengambil semua kebutuhan pangan. Seperti sebuah supermarket, semua kebutuhan pangan seperti sagu, keladi, pisang, sayuran, palawija, bambu dan buah-buahan seperti nenas, nagka, manggis, durian, mangga, rambutan, dan duku bisa di temui di Tinungglu. Tanaman perkebunan seperti cengkeh, pinang, kakao, kelapa, dan manau juga ditanam untuk dijual.

Pangan Bernama Tinungglu

Keluarga Teu Saraki memiliki tiga ladang, satu di dekat rumah yang luasnya sekitar 200 meter persegi dan ladang lainnya ada di hulu sungai. Ladang di belakang rumahnya ditanami kebutuhan sehari-hari seperti keladi, talas, singkong, ubi jalar, pisang, kacang panjang, gambas, cabe, kunyit, jahe, pisang, nenas dan pepaya. Di ladang ini Teu Saraki juga memelihara belasan ekor ayam kampung untuk kebutuhan daging dan telur. Ia juga punya kolam ikan.

Di depan rumah ditanam bunga-bunga untuk keperluan Clickbet88 Bola punen atau pesta adat. Di samping rumahnya ditanami beberapa jenis tanaman obat yang akan digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit oleh suaminya Teu Tulae, yang juga seorang sikerei atau ahli pengobatan tradisional.

Dua ladang mereka lainnya, berada di hulu sungai. Jaraknya sekitar 1 jam perjalanan dengan menggunakan pompong atau perahu mesin tempel. Di ladang tersebut sagu tumbuh dengan subur. Selain sagu juga ada pohon pisang, talas, dan pohon buah-buahan. Seminggu sekali mereka sekeluarga pergi ke ladang itu untuk mengambil sagu, pisang dan buah-buahan.

Sekali tiga bulan beberapa pohon sagu akan ditebang dan diolah menjadi tepung sagu oleh Teu Tulae. Tepung sagu basah dari endapan pati sagu itu akan disimpan dalam tapri, keranjang dari anyaman daun sagu yang rapat, lalu deretan tapri itu akan dibenamkan ke dalam lumpur di tepi sungai agar awet untuk persediaan tepung sagu beberapa bulan ke depan.

Untuk kebutuhan sehari-hari hanya dibawa secukupnya dalam karung, agar tepung sagu yang dikonsumsi tetap segar.

Dari pohon sagu yang ditebang, satu potongan yang paling muda digunakan untuk membuat batra atau ulat sagu yang bisa dipanen 7-12 minggu kemudian.

Sebagai makanan pokok, pohon sagu tidak pernah gagal panen. Pohon sagu juga dijadikan mahar untuk perkawinan. Karena itu, walaupun sudah memiliki banyak pohon sagu setiap keluarga tetap harus menanamnya kembali untuk anak dan cucu mereka Kepala Dusun Muntei Julius Saleleu mengatakan ketahanan pangan di Muntei sangat kuat sehingga kebal menghadapi ujian krisis.

“Setiap ada krisis di Indonesia, tidak ada yang sampai ke Simatalu, di sini untuk makan itu cukup, ada pohon buah-buahan, sagu, pisang, keladi, ternak babi, ayam dan ada ikan di sungai dan muara,” kata Juliusa.

Ia mencontohkan, saat krisis moneter 1998, di daerah Simatalu malah berlimpah uang, karena harga minyak nilam naik.

“Kami di sini saat itu berlimpah uang, harga minyak nilam tiba-tiba menjadi Rp1 juta per kilogram. Banyak yang mendadak kaya dan membeli banyak barang di warung,” kata Julius.

Dampak krisis akibat virus Corona juga ia yakin tidak akan sampai di Simatalu. “Tidak akan ada yang akan kekurangan makanan di sini,” katanya.

Pembukaan ladang oleh masyarakat di Muntei masih dilakukan dengan tradis kuno seperti yang dilakukan nenek moyang mereka dulu. Tidak seperti di banyak daerah lainnya di Indonesia, tradisi membuka lahan di Muntei ini tidak menggunakan api.

Pembukaan ladang baru untuk tinungglu dimulai dengan penentuan lokasi dengan mencari tanah yang subur, dekat dengan sumber air dan tempatnya tidak terlalu curam. Setelah mendapatkan lokasi, baru dilakukan pembersihan belukar.

Hasil pembersihan belukar tidak dibakar, melainkan dibiarkan di tanah sampai lapuk sendiri. Membakar lahan tidak dilakukan agar tanaman yang masih berguna seperti tanaman obat tidak ikut mati.

Setelah itu tanaman muda untuk kebutuhan pangan segera ditanam, seperti pisang, ubi, talas, keladi, palawija, sayuran, cabe dan jahe-jahean. Setelah akarnya tumbuh, barulah pohon besar mulai ditebang. Tetapi pohon yang diperlukan untuk membuat rumah dan sampan seperti pohon kruing, meranti dan katuka tetap dibiarkan tumbuh.

Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat hanya mengambil dari hasil ladang.
Tetapi tinungglu di Siberut dan di tiga pulau lainnya di Kepulauan Mentawai sudah mulai berkurang.

Lascia un commento

Il tuo indirizzo email non sarà pubblicato. I campi obbligatori sono contrassegnati *